Generasi Z (Gen Z), yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, kini mulai memasuki dunia kerja. Namun, banyak dari mereka yang menghadapi tantangan signifikan dalam menemukan pekerjaan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka pengangguran yang cukup tinggi di kalangan Gen Z. Artikel ini akan mengeksplorasi beberapa alasan utama di balik fenomena ini.
1. Kesenjangan Keterampilan
Salah satu alasan utama pengangguran di kalangan Gen Z adalah kesenjangan keterampilan antara pendidikan yang mereka terima dan kebutuhan pasar kerja. Banyak lulusan baru yang tidak memiliki keterampilan praktis yang diinginkan oleh perusahaan. Menurut data BPS, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada kelompok usia 20-24 tahun mencapai 14,3% pada Agustus 2022, yang menunjukkan kesulitan dalam beradaptasi dengan tuntutan pasar kerja.
2. Kurangnya Pengalaman Kerja
Banyak perusahaan yang mencari karyawan dengan pengalaman kerja yang relevan, bahkan untuk posisi entry-level. Namun, Gen Z yang baru lulus dari perguruan tinggi atau Sekolah Menengah Atas (SMA) seringkali belum memiliki pengalaman kerja yang memadai. Hal ini menyebabkan mereka kesulitan bersaing dengan kandidat yang lebih berpengalaman. Data BPS menunjukkan bahwa pengangguran lebih tinggi di kalangan mereka yang baru menyelesaikan pendidikan formal.
3. Dampak Pandemi COVID-19
Pandemi COVID-19 telah memberikan dampak yang signifikan pada pasar kerja global, termasuk di Indonesia. Banyak perusahaan yang melakukan pengurangan tenaga kerja atau menghentikan perekrutan selama masa pandemi. Meskipun ekonomi mulai pulih, pasar kerja masih belum sepenuhnya kembali normal. BPS mencatat bahwa tingkat pengangguran pada tahun 2020 meningkat menjadi 7,07%, dari yang sebelumnya 5,28% pada tahun 2019 dan sebagian besar berdampak pada pekerja muda.
4. Perubahan dalam Pola Pekerjaan
Gen Z dikenal dengan preferensi mereka terhadap fleksibilitas kerja dan keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi. Mereka cenderung mencari pekerjaan yang memungkinkan bekerja dari jarak jauh atau memiliki jam kerja fleksibel. Namun, tidak semua perusahaan di Indonesia siap atau mampu menyediakan fleksibilitas semacam ini, sehingga mempersempit peluang kerja bagi Gen Z.
5. Ketidaksesuaian Jurusan dengan Kebutuhan Pasar Kerja
Banyak lulusan yang mengambil jurusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Hal ini mengakibatkan tingginya jumlah lulusan yang sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang studi mereka. Menurut data BPS, jurusan-jurusan tertentu seperti ilmu sosial dan humaniora memiliki tingkat pengangguran yang lebih tinggi dibandingkan dengan jurusan teknik dan kesehatan yang lebih mudah diserap oleh pasar kerja.
6. Kurangnya Informasi Tentang Peluang Kerja
Gen Z seringkali kurang mendapatkan informasi yang memadai tentang peluang kerja yang tersedia. Meskipun teknologi dan media sosial membantu dalam menyebarkan informasi, masih banyak yang kesulitan mengakses informasi yang tepat atau tidak mengetahui cara yang efektif untuk mencari pekerjaan. Program bimbingan karir di sekolah dan universitas juga seringkali kurang optimal dalam memberikan panduan yang relevan dengan kondisi pasar kerja saat ini.
Kesimpulan
Pengangguran di kalangan Gen Z adalah masalah kompleks yang disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kesenjangan keterampilan, kurangnya pengalaman kerja, dampak pandemi, perubahan pola pekerjaan, ketidaksesuaian jurusan dengan kebutuhan pasar, dan kurangnya informasi tentang peluang kerja. Upaya kolaboratif antara pemerintah, institusi pendidikan, dan industri diperlukan untuk mengatasi tantangan ini. Program pelatihan keterampilan, peningkatan kurikulum pendidikan, serta penyediaan informasi yang lebih baik tentang pasar kerja dapat membantu Gen Z menemukan dan mengamankan pekerjaan yang sesuai dengan keterampilan dan aspirasi mereka.
Dengan perhatian dan intervensi yang tepat, diharapkan tingkat pengangguran di kalangan Gen Z dapat berkurang, sehingga mereka dapat berkontribusi secara maksimal pada perekonomian dan pembangunan Indonesia.